Kamis, 24 Juni 2010

Munculnya gunungan sampah di berbagai tempat di Bandung, tentulah sangat memalukan Bandung yang katanya dikenal sebagai Kota Kembang, sampai-sampai auatu waktu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan ancaman, apabila dalam waktu satu bulan Pemkot Bandung tidak bisa mengatasinya, masalah ini akan diambil alih oleh pemerintah pusat. Semua ini menunjukkan ada yang belum tepat dalam pengelolaan sampah selama ini.
Dalam hal pengelolaan sampah perkotaan, Indonesia hingga kini masih berorientasi pada mass waste-producing society, di mana pemerintah berperan sebagai aktor utama dalam kegiatan pembersihan sampah, sedangkan TPA dan insinerator dijadikan solusi untuk mengatasi limbahnya.
Hingga saat ini RUU tentang persampahan belum juga sampai di DPR untuk dibahas. Padahal, krisis sampah sudah sangat kasat mata, menyangkut masalah semua orang, dan tidak kalah penting dibandingkan dengan persoalan pornografi dan pornoaksi yang menimbulkan pro- kontra yang tajam dalam masyarakat. Salah satu kunci penting dari kebersihan dan kerapian publik di kota-kota di negara itu adalah karena kesadaran.
Percayakah anda bahwa Jepang telah berhasil membuat sebuah airport berkelas internasional di Kobe yang dibuat diatas lapisan sampah, lalu menerapkan pembuatan pupuk dari sampah di berbagai hotel di jepang?
Pengaruh pertumbuhan ekonomi membuat hidup masyarakat Jepang menjadi berkecukupan, yang menjadikan pola hidup produsi massal dan konsumtif, sehingga jumlah sampah yang dihasilkan membengkak. Atas dasar itu, dewasa ini dikembangkan daur ulang sampah menjadi barang bermanfaat bagi manusia menjadi orientasi, karena selain disamping dapat mengurangi konsumsi sumber daya alam juga meringankan beban lingkungan.
Titik awal kemudahan pengelolaan dan pengolahan sampah diawali dari bagaimana orang Jepang memisahkan sampah dan manajemen pengumpulannya di kota. Sedikitnya terdapat tujuh kategori sampah rumah tangga yang mesti dipisahkan sendiri-sendiri oleh warga kota sebelum diletakkan/dibuang ke tempat yang ditentukan pada hari yang dijadwalkan. Setiap 6 bulan, pemerintah daerah melakukan penyuluhan mengenai sampah. Tiap daerah memiliki aturan yang berbeda-beda, namun secara umum diberlakukan pemisahan sampah menurut jenisnya. Pemisahan itu ditandai dengan kantong plastik yang berwarna khusus untuk masing-masing jenis, dan harus dibeli di supermarket dengan begitu rinci dan dibuang menurut hari yang ditentukan. Meskipun begitu rumit dan mahal, semuanya sadar bahwa ini demi kebaikan bersama. Dari sini sebenarnya kita bisa belajar bahwa kedisiplinan juga bisa ditumbuhkan melalui sistem.
7 kelompok sampah yang di atur pemerintah Jepang, diantaranya:
a) Sampah yang dapat dibakar (Burnable Waste),
b) Sampah urug (Land-fill Waste),
c) Sampah plastik (Plastic Waste),
d) Sampah yang dapat dihancurkan/diremukkan
e) Sampah yang beresiko/berbahaya
f) Sampah yang dapat didaur ulang (Recyclable Waste)
g) Sampah besar (Bulky Waste).
Kedisiplinan dan kepatuhan orang Jepang dalam mengurus sampah menimbulkan kesan bahwa masyarakat Jepang mempunyai kesadaran tinggi dalam menangani sampah. Sebenarnya, kalau kita melakukan kilas balik Jepang pada tahun 1960-1970-an, keadaan kota-kota besar seperti Tokyo atau Osaka tidaklah terlalu jauh berbeda dengan kota-kota besar Indonesia sekarang ini. Di tempat-tempat umum dengan mudah ditemukan sampah berserakan, dan masalah polusi lingkungan menjadi isu sosial dan politik besar pada waktu itu.
Akan tetapi, kalau yang dijadikan tolok ukur adalah masyarakat Jepang sejak tahun 1990-an hingga sekarang ini, kesan disiplin dan patuh tidaklah terlalu meleset. Kebijakan dan perundang-undangan persampahan Jepang secara integrasi melibatkan pihak produsen, konsumen, serta pihak terkait lainnya, selain unsur pemerintah. Sebagaimana tercermin dalam perundang-undangan, pengelolaan sampah mereka didasarkan pada prinsip sharing burden di antara unsur-unsur masyarakat. Berdasarkan peraturan pemerintah, konsumen diwajibkan memilah dan membuang sampah sesuai dengan aturan serta membayar biaya pembuangan dan penghancuran (scrapping) barang-barang tertentu.
Produsen produk tertentu diwajibkan melakukan pengumpulan dan mendaur ulang. Para penjual barang-barang peralatan rumah tangga diwajibkan untuk mengumpulkan sampah barang-barang tertentu, sedangkan pemerintah berperan dalam mengumpulkan dan memproses sampah di tempat pembuangan akhir (TPA).
Melalui desain kelembagaan ini, sasaran yang ingin dicapai oleh Pemerintah Jepang adalah mengubah orientasi pengelolaan sampah dari masyarakat yang menghasilkan sampah secara massal (mass waste- producing society) menjadi masyarakat yang dapat melakukan siklus material secara menyeluruh (sound material-cycle society).
2.2 Penemuan Keranjang Takakura dan Manfaatnya
Menurut survey Indonesia Solid Waste Association, hanya 10% sampah warga Jakarta yang diolah menjadi kompos, padahal lebih dari setengah (55%) sampah tersebut adalah sampah organik. Jika saja, warga membuat kompos dari sampah organiknya, maka sampah Jakarta yang harus diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA) akan berkurang.
Dewasa ini pengelolaan sampah mandiri di Surabaya banyak menggunakan keranjang “sakti” Takakura. Keranjang sakti Takakura adalah suatu alat pengomposan sampah organik untuk skala rumah tangga. Yang menarik dari keranjang Takakura adalah bentuknya yang praktis, bersih dan tidak berbau, sehingga sangat aman digunakan di rumah. Keranjang ini disebut masyarakat sebagai keranjang sakti karena
kemampuannya mengolah sampah organik sangat baik.
Keranjang Takakura dirancang untuk mengolah sampah organik di rumah tangga. Sampah organik setelah dipisahkan dari sampah lainnya, diolah dengan memasukkan sampah organik tersebut ke dalam keranjang sakti Takakura. Bakteri yang terdapat dalam starter kit pada keranjang Takakura akan menguraikan sampah menjadi
kompos, tanpa menimbulkan bau dan tidak mengeluarkan cairan. Inilah keunggulan
pengomposan dengan keranjang Takakura. Keranjang Takakura juga mempunyai nilai estetika, karena terlihat rapi dan bersih. Jadi, keranjang Takakura ini bisa ditempatkan di dalam kamar, apartemen, atau di dalam rumah pas sekali untuk untuk para mahasiswa, bujangan, atau keluarga kecil.
Cara membuat keranjang takakura juga mudah. Bisa dibuat sendiri dengan memanfaatkan barang-barang yang tak terpakai di rumah. Yang dibutuhkan hanya keranjang plastik/ember/ gentong/tempayan/drum ukuran 50-100 L yang bertutup; dua buah bantal sekam sesuai ukuran wadah; pengaduk; kardus; dan kompos yang sudah jadi sebagai starter/biang.
Keranjang Takakura terdiri dari sebuah keranjang plastik yang berlubang, kardus, starter kompos, bantalan sekam, dan selembar kain. Lubang pada keranjang plastik bertujuan melancarkan sirkulasi udara di dalam keranjang, bantal sekam di bagian bawah keranjang berfungsi sebagai penampung air lindi dari sampah sehingga bisa menyerap bau. Bantal sekam juga berfungsi sebagai alat kontrol udara di tempat pengomposan agar bakteri berkembang dengan baik, sedangkan kain berfungsi untuk penghalang lalat atau nyamuk agar tidak masuk ke keranjang. Untuk proses yang maksimal, keranjang tidak boleh diletakkan di tempat yang terkena sinar matahari secara langsung.
Proses pengomposan ala keranjang Takakura merupakan proses pengomposan aeraob di mana udara dibutuhkan sebagai asupan penting dalam proses pertumbuhan mikroorganisme yang menguraikan sampah menjadi kompos. Media yang dibutuhkan dalam proses pengomposan yaitu dengan menggunakan keranjang berlubang, diisi dengan bahan-bahan yang dapat memberikan kenyamanan bagi mikroorganisme. Proses pengomposan metode ini dilakukan dengan cara memasukkan sampah organik – idealnya sampah organik tercacah – ke dalam keranjang setiap harinya dan kemudian dilakukan kontrol suhu dengan cara pengadukan dan penyiraman air.
Satu keranjang standar dengan starter kompos 8 kg dapat dipakai oleh keluarga dengan jumlah anggota keluarga sebanyak 7 orang. Sampah rumah tangga yang diolah di keranjang ini maksimal 1-1,5 kg per hari. Jenis sampah organik yang bisa diproses di keranjang ini contohnya sisa sayuran, sisa nasi, sisa ikan, ayam, kulit telur, dan sampah buah yang lunak. Sampah yang telah dipotong kecil dikubur ke dalam starter kompos, ditutupi bantalan sekam dan kain, lalu ditutup rapat. Proses pengomposan berlangsung sekitar 2-3 bulan. Setelah 3 bulan, 1/3 bagian dr keseluruhan diambil dan sudah dapat dijadikan pupuk kompos. Proses diulang kembali dari penguburan sampah.
Proses pengomposan terkadang tidak berjalan sempurna, ada kemungkinan kompos menjadi terlalu kering atau dalam keranjang terdapat banyak belatung. Untuk kompos yang kekeringan, campuran bisa ditambahkan air hingga kelembabannya dianggap pas, sedangkan apabila terdapat belatung, campuran harus ditambahkan sekam.

3. Ekosemen dari Sampah Sebagai Alternatif Menguntungkan Bagi Masyarakat dan Pemerintah
Istilah ekosemen berasal dari kata “ekologi” dan “semen”. Diawali penelitian di tahun 1992, para peneliti Jepang telah mempelajari kemungkinan memprosesan abu hasil pembakaran sampah dan endapan air kotor untuk dijadikan bahan pembuat semen. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa abu hasil pembakaran sampah mengandung unsur yg sama dengan bahan dasar semen pada umumnya. Pada tahun 1993, proyek itu dibiayai oleh Kementrian Perdagangan Internasional dan Industri Jepang. Tahun 2001, pabrik pertama di dunia yang mengubah sampah menjadi semen resmi beroperasi di Chiba. Pabrik tersebut mampu memproduksi ekosemen sebanyak 110,000 ton/tahunnya. Sampah yang diubah menjadi abu yang kemudian diolah menjadi semen mencapai 62,000 ton/tahun sedangkan endapan air kotor dan residu abu industri yang diolah mencapai 28,000 ton/tahun. Abu dan endapan air kotor mengandung senyawa-senyawa yang diperlukan dalam pembentukan semen konvensional, yaitu senyawa-senyawa oksida seperti CaO, SiO2, Al2O3, dan Fe2O3. Karena itu, abu insinerasi dapat difungsikan sebagai pengganti tanah liat yang digunakan pada pembuatan semen konvensional
Secara umum, prinsip produksi ekosemen pada dasarnya sama dengan prinsip pembuatan semen konvensional. Adapun perbedaannya terletak pada proses pembakaran dan pengolahan limbah.
1. Persiapan
Bahan baku (abu insenerasi, endapan air kotor rumah tangga, dan residu abu industri) diproses terlebih dahulu melalui pengeringan, penghancuran, dan pemisahan logam yang masih terkandung pada bahan baku.
2. Penghancuran
Setelah dikeringkan, bahan baku tersebut kemudian dihancurkan pada raw grinder atau drying mill bersamaan dengan batu kapur.
3. Pencampuran
Setelah dikeringkan dan dihancurkan, umpan dimasukkan ke dalam homogenizing tank bersamaan dengan fly ash (abu yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara) dan blast furnace slag (limbah yang dihasilkan industri besi). Penempatan dua homoginezing tank yang diilustrasikan dalam diagram dimaksudkan untuk mencampuran semua secara merata sehingga dapat menghasilkan komposisi yang diinginkan.
4. Pembakaran
Berbeda dengan produksi semen konvensional dimana bahan baku dibakar pada suhu 900oC, pada proses pembuatan ekosemen, bahan baku dimasukkan ke dalam rotary klin dan dibakar pada suhu diatas 1350oC. Dalam rotary kiln, dioksin dan senyawa berbahaya lainnya yang terkandung pada abu insenerasi akan terurai menjadi air dan gas klor sehingga aman bagi lingkungan. Gas yang keluar dari rotary klin kemudian didinginkan secara cepat hingga suhu 200oC untuk mencegah kembali terbentuknya dioksin. Pada proses ini, logam berat yang masih terkandung dipisahkan dan dikumpulkan ke dalam bag filter sebagai debu yang masih mengandung klor. Debu ini kemudian dialirkan ke heavy metal recovery process. Klor yang masih tersisa akan dihilangkan dan menghasilkan sebuah articial ore seperti tembaga dan timbal yang kemurniannya mencapai 35% atau lebih. Proses pembakaran akan menghasilkan clinker (intermediate stage pada industri semen) yang kemudian dikirim ke clinker tank.
5. Penghancuran produk
Campuran gypsum dan clinker dihancurkan dalam finish mill dan kemudian akan dihasilkan ekosemen.

Pengolahan sampah menjadi semen akan menambah metode alternatif pengolahan sampah yang lebih bernilai ekonomis dan biaya pengolahan sampah akan menjadi lebih murah. Sebagai contohnya, di Jepang, biaya pengolahan sampah konvensional sebelum keberadaan teknologi ekosemen ialah sebesar 40,000 yen/ton dan sekarang turun menjadi 39,000 yen/ton.
Selain itu, teknologi ekosemen sangat ramah lingkungan. Pada proses produksi ekosemen, sebagian CaO yang dibutuhkan dapat diperoleh dari abu insenerasi sehingga mengurangi penggunaan batu kapur (CaCO2) yang selama ini merupakan sumber emisi gas CO2 pada industri semen. Atas keberhasilan dalam mengurangi emisi CO2 ini, teknologi ekosemen mendapat penghargaan dari menteri lingkungan Jepang atas peranannya dalam mencegah pemanasan global.
2.5 Peluang di Indonesia
Indonesia merupakan sebuah negara yang belum bisa lepas dari masalah sampah. Mulai dari penolakan warga masyarakat sekitar TPA akibat kepulan asap dan bau yang ditimbulkan oleh pengolahan sampah dengan PLTS hingga kejadian yang tidak pernah dilupakan Tragedi Leuwigajah yang merenggut 24 nyawa tak bersalah.
Sudah banyak upaya yang dilakukan untuk mencari solusi penyelesaian masalah sampah Indonesia termasuk dengan cara mengubah sampah tersebut menjadi sumber energi (methane). Namun, akibat kurangnya prospek dari segi ekonomi, perkembangan proses konversi tersebut dapat dikatakan masih jalan di tempat. Dengan berhasilnya Jepang dalam mengolah sampah menjadi semen, muncul peluang yang besar untuk melakukan hal yang sama di Indonesia. Untuk masalah bahan baku, di Jakarta, sampah domestik yang dihasilkan mencapai lebih dari 6000 ton/hari. Dari segi proses, dapat dikatakan bahwa prinsip pembuatan ekosemen hampir sama dengan pembuatan semen biasa. Apabila Pemerintah dan pihak industri dapat bekerja sama dengan baik, masalah sampah akan teratasi dan pihak industri meningkatkan keuntungan dengan adanya pengurangan penggunaan limestone sebesar 26%.
Satu faktor utama yang menentukan keberhasilan proses pengolahan sampah ialah regulasi pemerintah, khususnya pemerintah kota/daerah, dalam mengelola sampah dengan baik. Salah satu cara yang dapat ditempuh ialah melalui penggalakkan kampanye pemisahan sampah antara sampah organik, sampah anorganik, sampah botol, dan sampah kaleng serta kemudian menjadikannya sebagai kebiasaan warga Indonesia secara luas. Dimulai dari hal sederhana tersebut, peluang pemanfaatan sampah menjadi semen atau produk yang lain dapat dilakukan pihak industri dengan lebih ekonomis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar